Senin, 15 September 2008

Poem

Iwan Muhammad R.
Aku mencintaimu dan akan jatuh cinta lagi
--‘tie rahayu, hatimu erat memelukku

Kekasih, jika aku jatuh cinta lagi, kau akan menjadi petapa paling sunyi.
Samadi di dalam ruang yang samar-samar dalam jiwaku
Setiap datang malam, aku akan mengingatmu sebagai cahaya yang sinarnya terpantulkan kembali. Jalan-jalan yang kita lewati menjadi sepi, gang-gang membatu, dan lorong-lorong memuntahkan air mata sebagai penyesalan pada sebuah cinta yang tumbuh antara kampus sendu dan sekolah biru.

Aku menyesalkan itu, kekasih. Kau selalu berkata ; sinar mentari akan tetap sebagai cahaya sekalipun bertepi di dasar samudera. (Aku mencintaimu kekasih, dan akan jatuh cinta lagi). Di hadapanaku, seseorang telah siap berlabuh di tepian hati yang selama ini kau diami. Bahtera yang dibawanya serupa dengan bahtera yang kau layarkan. Tapi aku akan selalu mencintaimu kekasih, dan saat ini aku telah jatuh cinta lagi.

Bandung, 7 Juli 2007 


Iwan Muhammad R.
Ketika orang memilih sunyi, kupilih hatimu sebagai peraduan sepi
-- Mey yang diantarkan malam

Sepanjang jalan itu kau berbicara tentang kisah cinta yang terlunta, bibirmu yang mendelima menawarkan bebintang untuk kugenggam sebagai harta malam paling sunyi, berkata tentang masa depan lantas meloncat pada masa silam. Aku mendengarkanmu, kekasih; lewat lampu-lampu merkuri, telingaku melebarkan sayapnya. Cahaya yang menebar mengantarkanku pada angan-angan yang menggetarkan jantung. Kau katakan malam ini dunia milik kita. “Basi” ucap hatiku yang tak terdengarkan olehmu. Kau kupeluk lewat angin, lalu kita menjadi bebatu malam yang dibekukan rasa. Maka kupilih hatimu ketika orang memilih sunyi tuk menjadi peraduan sepi.

Bandung, 11 Juli 2007 

Iwan Muhammad R.
Aku melihat Unaida di dirimu
--ze

Mata itu seperti embun pagi yang terjatuh dari ujung dedaun padi, 
dan wajahmu adalah hamparan huma yang terbelah sungai kasih, 
bulu-bulu matamu bernyanyi tentang keabadian, 
membiru oleh senyum syahdu bibirmu.

Aku bersama senja tak bisa melepaskanmu dari bait-bait puisi,  
atau sajak-sajak yang bertema cinta. 
Kau menggerayang dari sudut mata hingga ujung kantuk. 
Seluruh waktuku penuh catatan-catatan tentang hari baru. 
Tentangmu, dan
Aku melihat Unaida di dirimu.

Bandung, 12 juli 2007

Iwan Muhammad R.
Kepada cinta

Nasib cintaku seperti angin malam kebisuan, 
tersangkut di ranting-ranting gelisah, 
tangan-tangannya terbelenggu jelaga yang menepikan segenap sunyi. 
Maka segala daya murung memenjarakan tangis.

Kamar sunyi, 14 Maret 2007


Iwan Muhammad R.
Suara keheningan

Aku ingin menjadi mimpi
Ketika bumi mencucurkan air mata
Lalu kupersimpangkan langit dengan pepohonan
Biru menyatu dedaun
Maka air mata pun menjadi lelap. 

Aku ingin menjadi mimpi
Saat kelapak burung gagak meniupkan nafas luka
Lalu setiap orang bersandar pada jelaga
Dan menggantungkan hidupnya pada rintih hujan, 
Maka dunia menjadi tanya

Aku ingin menjadi mimpi
bila suara keheningan memanjatkan doa
sayap-sayapnya melayah di permukaan malam
Maka segala pertanda berubah
Menjadi duka.

Bandung, 14 Maret 2007

Iwan Muhammad R.
Akhir dari kata menunggu
--ze

Puncak dari sebuah keheningan adalah lamunan,
lalu kutulis puisi dalam pelukan cahaya lilin yang membelah jelaga,
detak jarum jam makin menjauh 
menjelajahi mimpi,
mempertajam sunyi

Di perbatasan malam dan ruang luka, 
hasratku berdiri menentang gemuruh angan-angan 
melintas pada kantuk orang-orang lapar. 
Menembus, 
mengangakan duka sebagai akhir dari kata menunggu

Cianjur, 1 April 2007


Iwan Muhammad R.
Al atau Ze


Dimana ‘kan kusimpan luka ini, Al? bumi kini tinggal sisa-sisa bakaran. Tak ada lagi kelembaban disediakan gunung. Laut tak lagi menitipkan bayang-bayang Tuhan. Ombak berganti kebencian. Buih membatu sebagai reruntuh amarah malaikat ketika malam terbakar pekat.
Mungkinkah sebagian luka itu kutitipkan pada denging-denging malaria? Sebagian lagi kutaruh di lekuk tubuhmu yang menyuarakan asa? Atau pada langit muram yang menangisi sebongkah cinta ketika petirnya menyambar satu hati?

II
Siapa yang ‘kan kupanggil dari dingin birahi, Ze, ketika rasa kantuk adalah satu-satunya sahabat? Perihnya menggasak dada seperti rel kereta saat rodanya mencengkram lekat. Atau kau saja yang kupaksa menjadi pahatan mimpi saat puisiku kehilangan kata-kata? Kalimat-kalimat yang tersusun hanyalah kakafoni-kakafoni yang merapuhkan makna.

III
Aku sungguh terhina, Na, ketika orang-orang membungkukan tubunya pada cinta yang baru tumbuh dalam putaran-putaran gunung, tanahnya menggeliat seperti mawar yang mendapat belaian matahari. Putik dan mahkotanya halus bagai lamunan. Sementara aku harus menanggung malu di hadapan bongkahan buku-buku yang menceritakan sejarah

IV
Ada bentangan Tanya yang membiru, Al-ze-na, dalam sajak dan puisi yang menghubungkan waktumu dengan secerca keinginan. Membeku. 
Lalu menjadi batu yang tak dapat dihancurkan segelintir luka.

Bandung, 15 Maret 2007

Iwan Muhammad R.
Rintih birahi
--ze

Kabut mengering pada lengking birahi
Seribu kecemasan hinggap pada daun-daun biru
Sukmaku tergeletak dalam rintih masa lalu.

Kamar sunyi, 13 April 2007


Iwan Muhammad R.
Jejak-jejak hujan
-- silvia sari dewi

I
Langkah kita adalah jejak-jejak hujan. Berguguran bersama kata-kata yang terkayuh lewat mulut-mulut sunyi. Mengalir bersama detak jantung kita yang mempertanyakan makna. Siapa yang menjadi awan di antara kita, hingga hujan membasahi jalan-jalan berdua? 

Aku tak pernah bermimpi mempersunting langit, atau sekedar mengubah warnanya menjadi merah jambu. Sebab t’lah kupilih rinduku untuk terasing di pangkuan hatimu. Sekalipun hanya menyapa lalu pulang diantarkan senyummu yang tak kembali karena tersangkut pada kail-kail rasa dalam hatiku.

II
Jalan-jalan berselimut pekat, trotoar basah, gang-gang terlukis senja adalah jejak-jejak hujan dalam kebiruan rindu. Melekat pada hati curamku. Menjadi sederet pulau yang setiap saat mengenangkan masa lalu. Menoreh sejarah saat kita berada di antara batu-batu dan aspal yang tercecer luka.

Setia Budi, 13 April 2007


Iwan Muhammad R.
Sajak luka
--Tentang malam

Aku datang padamu malam ini 
Seperti kereta malam yang melengkingkan tangis
  Di bawah bulan
Sepi itu memeluk tubuhku
Merajang
Menelantarkanku dari belaian sukmamu

Seperti sunyi aku tersesat
Dedaun berjatuhan di tepian luka
  Pohon-pohon meranggas
Berjalan melintasi rel-rel kepedihan
Meraung,
Menyayat perih

Cianjur, 5 Mei 2007


Iwan Muhammad R.
Mengenang purba

Di cekam malam seperti ini 
kita takkan pernah tahu kemana rasa kita kan terjatuh, 
mungkin ke pelukan badai 
atau ke jurang yang menganga dalam hati 
pula mungkin pada derasnya air mata 
hanyut ditelan gemuruh isak tangis 
kemudian rasa itu tidak ada

Cianjur, 19 Juni 2006


Iwan Muhammad R.
Jawaban untuk Reny

Penyair tak pernah kehabisan kata-kata
Tetapi sering kali penyair dilanda keheningan pulsa.
Memang puisi tak berperan sebagai Pak Kaya
Tapi lebih bermakna dari harta yang mengguncang perapian cinta

Bandung, 14 Mei 2007


Iwan Muhammad R.
Puisi dan kunang-kunang

Jika kau anggap puisiku permainan kucing-kucingan. Meram, lalu bersembunyi di balik pepohon yang menggelapkan angan. Aku bisa mengubah malam menjadi sepercik api yang membakar birahi, lalu menenggelamkanmu pada mulut-mulut medusa. Lidahnya menjulur menyapukan jalan-jalan. Lorong-lorong. Gang-gang sunyi, padahal kau masih mendambakan belaian lembut kasih seorang ibu. 

Jika menurutmu puisi adalah rayuan, maka makna puisi sebagai suara hati seorang penyair ketika dirinya menjadi manusia, lenyap oleh senyum bibirmu yang berona merah jambu. Meleleh seperti tubuh-tubuh lilin yang berusaha menjaga api untuk tetap menerangi.

Kau tahu sesuatu yang terjadi ketika awan mengisyaratkan hujan? Di sana ada butir-butir mimpi menetas menjadi seribu kunang-kunang yang merindukan kasih sayang. Menyebar ke segenap ruang dalam taman hati paling biru. Bergegas mencari huruf-huruf baru lalu segenap cinta pun mengalir di antara reremang cahayanya.

Ah. Tak ingin kuberkata banyak dengan kau yang hanya kukenal lewat tulisan-tulisan mini.

Bandung, 14 Mei 2007


Iwan Muhammad R.
Ze dan senyuman

Pagi ini kau tersenyum dengan wajah yang tak bisa kuterjemahkan
Jantungku seperti ditinju sorot matamu
Awgh…
Aku tak bisa melepaskan kata….

Bandung, 14 Mei 2007

Iwan Muhammad R.
Masih untuk Ze

Aku dirundung cinta lagi, Ze
Padamu, dan bukan kali pertama
  Kau pernah menanam luka
  Di dadaku, namun hilang terendapkan
  Lumpur waktu
  Tergenang. Menghumus.
Lalu Tuhan melemparkan sebutir cinta baru ke permukaannya
Tumbuh merangkak…..
Lantas tertuju padamu.

Bandung, 15 Mei 2007

Iwan Muhammad R.
Suatu cerita di kantin belakang
--ze

Aku teringat kau siang tadi
Duduk menikmati makanan kecil tersendiri
Lalu kusapa dengan keraguan
Dan kau balas dengan senyuman....
Tak ada lagi yang bisa kutuliskan.

Bandung, 15 Mei 2007


Iwan Muhammad R.
Perkabungan
--ze

 Peri bermimpi
Senja terlukis
 Awan mengambang
Sukma melayang
 Rindu menggebu
Puisi membisu
 Harapan terpaku
Rintih memilu
 Cintaku padamu

Cianjur, 19 Mei 2007


Iwan Muhammad R.
Perempuan dingin meminta puisi
--‘tie rahayu, sebelum menjadi kekasih

Jika puisi hanya sekedar kata-kata, 
aku sanggup menciptakan berjuta-juta
kuberikan padamu lewat angin malam,
atau pada senja yang mengantarkan kelam.

Puisi perlu makna,
Perlu rima atau irama
Maka dunia adalah kata-katanya
Tidak sekedar bercerita tentang cinta

Aku bukan penyair, perempuan dingin.
Puisi-puisiku hanya sebatas belaian angin
Menyentuh lembut saat tubuh ini merindu lelap
Lalu bergegas pergi menuju malam gelap

Memintaku sebuah puisi adalah kekeliruan, 
Apa lagi jika yang kau pinta adalah puisi cinta
Rayuan-rayuan mesra menari di setiap katanya
Dan aku tak sedia dikata seorang pendusta.

Bandung, 17 Mei 2007

Tidak ada komentar: